Jakarta, Dua puluh tujuh tahun yang lalu, keluarga kami tinggal di
tengah hutan di Lampung. Kampung terdekat dengan gubuk kami berjarak
kurang lebih 2 km. Gubuk itu terbuat dari bambu (gedhek). Agar aman dari
serangan binatang buas gubuk kami dibuat panggung. Pohon singkong
mengelilingi gubuk yang hanya mempunyai satu tempat tidur itu. Di depan
gubuk nan semilir ada sungai kecil dengan aliran air yang sangat jernih.
Setiap hari saya bermain air dan mandi bersama adik dan kakak di aliran
sungai itu.
Untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk, saya sering
memancing ikan di rawa kecil dekat tempat tinggal kami. Suatu saat,
ketika saya sedang memancing ikan di rawa, Ayah saya datang dan kemudian
duduk di samping saya. “Mil, bapak punya cerita tentang kerang mutiara
dan kerang rebus, sambil mancing kamu dengarkan ya,” kata bapak saya.
Sambil
terus saya memancing, Ia bertutur, “Ketika kerang belia mencari makan
dibukalah penutup badannya, ketika itu pasir masuk ke dalam tubuh kerang
belia itu. Sang kerang menangis, “Bunda sakit bunda…sakit…ada pasir
masuk ke dalam tubuhku.” Sang Ibu menjawab, “Sabarlah anakku, jangan kau
rasakan sakit itu, bila perlu berikan kebaikan kepada sang pasir yang
telah menyakitimu.”
Kerang beliapun menangis, namun air matanya ia
gunakan untuk membungkus pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Hal ini
terus menerus ia lakukan. Rasa sakit itupun secara ber-angsur berkurang
bahkan kemudian hilang. Ajaibnya, pasir yang membuat sakit tubuh kerang
itu justru telah berubah menjadi butiran yang sangat cantik. Ya, pasir
yang masuk ke dalam kerang belia itu telah berubah menjadi mutiara.
Ketika
kerang itu dipanen dan kemudian dijual, maka kerang yang berisi sebutir
pasir itu harganya mahal. Sementara kerang yang tak pernah merasakan
sakitnya pasir dalam tubuhnya, ia menjadi kerang rebus yang dijual murah
bahkan di obral di pinggir-pinggir jalan.
Setelah menarik napas
panjang, ayah saya melanjutkan, “Kalau kamu tidak pernah mendapat cobaan
dan merasakan rasa sakit, maka kamu akan menjadi kerang rebus atau
orang murahan. Tapi kalau kamu mampu menghadapi cobaan, bahkan mampu
memberikan manfaat kepada orang lain ketika kamu sedang mendapat cobaan,
maka kamu akan menjadi mutiara.”
“Anakku…, kerang rebus dijual
obral di pinggir jalan sementara mutiara dijual mahal, diletakkan di
tempat terhormat dan dikenakan oleh orang-orang yang terhormat. Hidup
adalah pilihan wahai anakku… kamu bisa memilih hendak menjadi kerang
mutiara atau kerang rebus, semua terserah kamu.” Ayah saya kemudian
bertanya, “Kamu memilih menjadi apa, mil?” Maka, segera saya jawab,
“Saya ingin menjadi kerang mutiara pak!”
Kelak, cerita itu sangat
mempengaruhi perjalanan hidup saya. Ketika saya sekolah di sekolah
lanjutan pertama, saya harus mencari biaya sendiri untuk membayar SPP.
Selepas subuh, saya harus pergi ke kebun karet untuk mengambil latex
dari perkebunan karet di PTP X. Pekerjaan itu bisa saya tuntaskan
sebelum jam tujuh pagi.
Saya dibayar empat ribu perak selama
sebulan. Karena pekerjaan itu, aroma tak sedap pasti menempel di tangan
saya. Walau dicuci dengan sabun, aroma itu tetap tak hilang. Sesampainya
di sekolah, sering tangan itu diludahin teman karena bau yang tak sedap
itu. Bahkan, salah satu air ludah teman SMP saya itu pernah mengenai
wajah saya. Sayapun menangis. Dalam suasana seperti itu, saya teringat
cerita kerang mutiara dan kerang rebus dari ayah saya. Cerita itu telah
membuat saya kuat menghadapi penghinaan teman SMP saya.
Ketika
saya lelah mengayuh sepeda sepanjang 23 km menuju sekolah SMAN Way Halim
di Bandar Lampung, sayapun teringat cerita ayah saya. Begitu pula
ketika saya diterima kuliah di IPB. Saya dan ayah saya datang ke salah
seorang yang kaya di kampung kami. “Alhamdulillah pak, Jamil diterima di
IPB. Saya tidak punya uang untuk memberangkatkan dia. Tolong saya
dipinjami uang tiga ratus ribu rupiah saja.” Ayah saya membuka
pembicaraan.
Sambil menghisap rokok, tuan rumah itu menjawab, “Wah
hebat bisa diterima di IPB, tapi kalau nggak punya uang ya nggak usah
panjang angan-angan. Sudah tahu miskin, nggak punya uang lha koq mau
kuliah. Baru mau berangkat saja sudah pinjam. Bagaimana nanti biaya
bulanannya? Apakah bertahun-tahun mau pinjam uang terus?”
Saya
melihat ayah saya tertunduk. Saya tak tahu apa yang ada di benak ayah
saya ketika itu. Tak terasa butiran air mengalir di pipi. Saya biarkan
air mata itu mengalir, sebab saya merasa itu adalah air mata kerang
belia yang sedang membungkus pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Saya
memang telah memilih untuk menjadi kerang mutiara. Bagaimana dengan
Anda?
sumber:www.kubik.co.id
Keterangan Penulis:
Jamil
Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK
LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.