Monday, September 1, 2014

Sebuah Kisah : Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai  dan mimik wajah yang ruwet. Anak muda itu memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, anak muda itu menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak hanya mendengarkan dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta anak muda  untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini dan katakan bagaimana rasanya...”, ujar Pak tua itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab si anak muda sambil meludah kesamping.
Pak tua itu sedikit tersenyum. Lalu ia mengajak anak muda ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereke di tepi telaga yang tenang itu.

Pak tua itu lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba ambil air dari telaga ini, dan kemudian minumlah”. Saat t si anak muda selesai meneguk air itu, Pak tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”
“Segar”, sahut anak muda itu. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Lalu ia mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnya adalah sama, dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “ Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu, adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam” untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Apa pendapat kamu...??