Ular-Tangga, permainan semasa kita
kecil, adalah contoh yang bagus tentang permainan nasib manusia. Ada
petak-petak yang harus dilewati. Ada tangga yang akan membawa kita naik
ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke
petak di bawahnya.
Kita hidup. Dan
sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan yang bernama
kuliah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak dengan permainan
yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah. Atau ia terus
saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan
melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar manusia: melempar dadu
(dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya, berapa
jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan. Apakah Ular yang akan
kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Dan disitulah
nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu.
Malangnya,
ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka bahwa itulah
nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu. Mereka yang malang
itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa
pernah melempar dadu.
Mereka yang
takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang
enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.
Setiap
kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara
sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yang
optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan
kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.